Pendakian Selanjutnya adalah Gunung Tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Gunung yang secara adminstratif berada di tiga wilayah yakni Lombok tengah, Lombok timur dan Lombok Barat. Nama Rinjani Sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang berarti “Yang Agung” menurut dongeng Suku Sasak, Gunung ini merupakan tempat kediaman Putri Anjani.

Beberapa guyonan seringkali kita dengar, bahwa kenapa harus menjadi orang Sasak jika Tak pernah mengunjungi Rinjani.

Gunung ini adalah salah satu puncak tertinggi dari 7 Puncak paling Tinggi di Indonesia, dan rasanya tidak elok ketika menjadi Seorang Masyarakat Lombok, kita tidak pernah menginjakkan kaki disana.

Bersama teman-teman yang sama pada saat pendakian menuju bukit pergansingan, kami memulai langkah kami dengan Sangat mantap, start dimulai dari bawak Nao, tempat dimana pintu pendakian dimulai, seberes mengurus tiket dan diarahkan oleh Petugas dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Kami melangkkahkan kaki melewati Sungai, dan di tanjakan pertama, langsung dihadapkan dengan tebing yang lumayan curam, tenaga pemula kami tak bisa dibohongi.

Hamparan padang savana yang luas, berbeda betul dengan pendakian Bukit Pergansingan, kali ini kami disuguhkan perjalanan yang lebih jauh, lebih menantang, namun kami lebih siap kali ini, dengan logistic yang lebih lengkap, karena mendaki gunung tidak hanya tentang gaya-gayaan dan pamer foto, mendaki gunung adalah tentang merendah.

Betapa banyak orang-orang yang meninggal dunia karena harus menerima resiko dari petualangan, keselamatan adalah hal penting dalam mendaki gunung, ada banyak penyakit yang tak bisa terlepas, hypothermia salah satunya, juga gunung memiliki kekuatan mistis yang entah anda percaya atau tidak memang benar adanya.

Lantas ?

Beranikah kita bergaya di Gunung ?

Pamer foto keren dan kehilangan esensi sebenarnya dari sebuah petualangan ?

Setelah berjalan cukup jauh kami menemukan para tukang ojek yang siap mengantarkan Para pendaki menuju pos II, tepat diatas jembatan yang sangat terkenal dan khas Rinjani

Perjalanan kami hentikan sejenak di Pos I, cuaca mendung dan sepertinya ingin meneduhkan kami di tengah teriknya matahari Sembalun, di Pos I betapa pendaki pemula seperti kami terheran, Manusia-manusia menjadikan tisu basah sebagai sampah yang lumrah.

Tisu-tisu itu dilengkapi dengan kotoran demi kotoran mereka yang masih menempel, apa susahnya mengubur kotoran itu dan membawa air dari bawah ? bukankah lebih baik jika melakukan hal seperti itu ?

Di sisi lain, para bule duduk di kursi dengan suara music Hip Hop ala party dan dugem khas orang barat, bukannya ikut senang dan gembira, saya justru harus menahan sesak, sebegitu terjajahkah kita ? 

Sebegitu tidak makmurkah kita ? 
dalam perspektiv yang berbeda, saya melihat merekalah majikan-majikan itu, para orang barat yang punya banyak uang, memberi upah kepada kita sebagai Pribumi untuk melayani mereka.

Mereka (Masyarakat) tidak salah, dan ini menjadi sebuah catatan penting untuk para penguasa, bahwa kita belum sejahtera sepenuhnya walau Rinjani dijadikan sebagai Geopark Dunia, belum lagi dengan kemunculan wacana kereta gantung yang menimbulkan Pro dan Kontra, disatu sisi memang bagus untuk orang-orang yang ingin menikmati Indahnya Rinjani tapi terkendala dengan kemampuan fisik dsb.

Disisi Lain, betapa banyak besi-besi yang akan dibangun menjulang, walau bukan di jalur pendakian misalnya, dalam aspek psikologis, bagaimana bisa kita bayangkan saat sedang capek, nafas terengah-engah namun Para penikmat Wisata dari kereta gantung Melambai dan tersenyum. Hmmm ini sungguh tidak menarik Sekali.

Beruntung pada saat kami mendaki dahulu, Rinjani masih lestari dan belum ada besi-besi itu, masih terlihat gagah dan megah, berdiri tegak dibawah Langit Nusa Tenggara Barat.

Kami beristirahat sebentar dan beribadah di Pos II, Kebetulan disana juga ada sumber Air yang sekalian kami gunakan untuk memasak, sehabis itu kami kembali berkemas, melanjutkan perjalanan dan harusnya, beberapa jam lagi akan sampai di Pos III, Rest area yang kami gunakan untuk menginap, untuk pendaki pemula yang tentu saja tak bisa langsung dipaksakan menuju pelawangan.

Menuju Pos III Sendiri sungguh tidak mudah, saat pendakian harus dimulai dengan tanjakan yang begitu tajam, langsung di awal langkah setelah pos II.

Akhirnya melalui perjalanan yang cukup berat hingga sampai di Pos III, kami mulai membangun tenda di sungai yang berada di bawah jalur, karena camp ground ini dekat dengan Mata Air bukan Air mata perpisahan.wkwk

Malam di Rinjani Jelas Berbeda dengan tempat-tempat lain, disini malam terlihat lebih mencekam, banyak sekali suara Alam yang terdengar dan berbeda dengan yang ada di Rumah, memberikan kita pelajaran bahwa tidak semua yang terlihat tenang menenangkan.

***

Setelah memasak, berkemas dan Kembali packing tas gunung untuk melanjutkan perjalanan menuju Pelawangan, dan ini adalah perjalanan terberat selain summit attack yang akan kami lakukan

Bagaimana tidak ? 
jalur yang ini berbeda dengan pos-pos sebelumnya, Jalur ini begitu terjal, begitu tinggi dan begitu melelahkan, orang-orang bilang, bahwa perjalanan Rinjani ditentukan oleh terjalnya Bukit penyesalan, setelah bukit penyesalan itu, ada Cemara siu yang sangat melelahkkan, lebih melelahkan dari sebelumnya.

Setelah akhirnya semua dilalui dengan sangat berat, kami memilih untuk mendirikan tenda di ujung pelawangan, ada camp ground yang cocok untuk melakukan summit attack juga, pelawangan ini adalah rest area terakhir bagi para pendaki Rinjani.

Berada di ketinggian 2700 Mdpl, Pelawangan adalah salah satu spot terbaik untuk melihat segara anak yang begitu tersohor.

sayangnya, lagi-lagi sampah menjadi penyakit akut yang kita semua miliki, kita mengaku diri sebagai Pendaki, Traveller, pecinta alam, penikmat ketinggian dsb. Tetapi sampah masih saja kita buang sembarangan, apa susahnya memasukkan sampah-sampah ini dalam trashbag yang sudah diberikan di pos registrasi, tapi ya begitulah kita, semua orang memiliki sudut pandang yang berbeda

Setelah puas menikmati suasana dingin Pelawangan, malam akhirnya menjelang, Langit terlihat sangat indah dengan jutaan ataupun milyaran bintang yang ada, sepertinya akan lancar dan indah sampai pulang nanti

Para pendaki lain juga tenang, hingga pada pukul 21.00 lebih mereka mulai memainkan musicbox dengan suara yang sangat besar, belum lagi sorak-sorai dan perbincangan porno dari mulut mereka.

entah apakah manusia akan dibalas karena perbuatannya atau tidak oleh alam, yang jelas, pendakian adalah tentang saling menghormati juga, semua orang boleh bergembira disini tetapi ingat jangan sampai kegembiraan kita merugikan orang lain

Dan saya yakin, Manusia akan mendapat balasan dari segala perbuatannya.

kami meaksakan untuk tidur, berbekal Telur rebus dan beberapa roti, kami mulai menata ransel lagi, karena sebentar lagi, kami berencana menuju tempat tertinggi di tanah kelahiran

Seberes berdo’a, kami mulai melangkah, Rinjani merupakan salah satu Gunung dengan vegetasi yang beragam, mulai dari hamparan padang savana, hutan, edelweis dan track tanah juga pasir di jalan terakhir menuju puncak.

Belum setengah perjalanan, beberapa dari kami memilih untuk kembali, karena alasan fisik, beberapa lagi memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju puncak, di tengah perjalanan, alam sepertinya membalas dendam atas apa yang kami lakukan dan ucapkan.

Tiba-tiba kabut tebal, suhu mencapai 6 derajat, angin bertiup dengan sangat kencang, kami harus kerap merebahkan badan untuk menghindar dari kondisi fisik dan alam yang tidak stabil, beberapa turis juga kembali karena alasan fisik yang tidak memungkinkan mereka melanjutkan perjalanan

Kami betul-betul dihukum, entah esok akan hidup atau mati, entah bisa bertahan atau tidak, persediaan makanan juga sudah mulai menipis, tangan terasa berat, berhenti adalah sebuah pilihan bodoh di tengah badai, lebih baik berjalan walau sedikit dari pada duduk termenung menahan dingin

Kiri dan kanan kami bukan lagi tentang hutan lebat, namun jurang-jurang tinggi dengan kemungkinan tetap hidup jika jatuh hanyalah sekian persen, saya pribadi pada saat itu mengucapkan janji yang sekarang harus rela menahan rindu, "jika selamat dari badai ini, maka saya tidak akan kembali tanpa membawa istri saya”.

Sebuah janji yang terus saya pegang sampai kini, entah siapapun dia yang akan menemani sampai puncak selanjutnya

Badai yang datang terus menerus bersama Kabut yang menghalangi jarak pandang, hanya 7 meter kami mampu menembus pandang

Banyak orang Kembali, tak kuat menahan gempuran angin yang kian membuat badan lemah, ditambah dingin yang menusuk, mentari belum juga bersinar padahal sudah jam 7.30

Setelah akhirnya dengan susah payah berhasil selamat sampai puncak, tiada pemandangan segara anak yang kami temukan, hanya kabut yang begitu tebal, angin yang begitu kencang, dan hujan yang sudah mulai turun, sungguh perjalanan yang mengundang bahaya.

Entah percaya atau tidak, di Gunung kita harus tau adab, tidak semua yang kita lakukan di rumah bisa kita lakukan disana, tapi memang ini tentang kepribadian, kita tidak bisa membohonginya, segala prilaku yang keluar adalah cerminan kepribadian.

Setelah turun, terror tidak sampai disana, selama perjalanan menuju segara anak, terasa sangat Lama, di Segara Anak pun kami harus merelakan keinginan untuk memancing dsb. Karena perasaan sudah sangat tidak enak untuk bertahan terus menerus di Rinjani.

Jadwal dan rencana berubah, semua mendadak memiliki kesibukan dan harus kembali besok malam, padahal tenda pun belum sempat didirikan

Menjadi ketidakpuasan yang sangat menyakitkan, tatkala Segara Anak tidak bisa kami nikmati untuk waktu yang lama

Setelah perdebatan panjang, kami memutuskan untuk menyusuri Sungai dan Pulang melalui Torean, tempat yang tidak terjal namun perjalanan yang jauh, kami berangkat dari segara Anak pada pukul 08.00 Pagi

Padahal langkah kaki tak pernah berhenti sampai sepuluh menit, namun masih terasa sangat jauh menuju kampung pertama yang akan kami temui setelah hutan lebat

Mayoritas penduduknya adalah Orang-orang Bali, kaki-kaki gunung sepertinya menjadi tempat kesukaan saudara kita, entah kenapa ? persis saat kami temukan di Air Terjun Mangku Sakti.

Akhirnya kami tiba di kampung Bali pada pukul 21.00, Itu artinya, ada 14 Jam Perjalanan untuk sampai di jalan pulang, sepanjang jalan itu, saya menjadi orang terakhir, seakan ada juga orang lain dibelakang tapi saat saya sadar saya adalah orang terakhir, maka saat itu juga saya merasa kami tidak baik-baik saja, 

Di kampung Bali, kami tidak bisa pulang secepat yang kami rencanakan, supir yang katanya sanggup menjemput kami kapanpun, membatalkan sepihak, beruntung kami temukan pendaki lain yang juga akan pulang satu arah.

Tepat Pukul 03.00 dini hari, sungguh perjalanan terberat yang pernah kami hadapi, dan bisa jadi, ini adalah konskuensi dari apa yang terjadi selama di pelawangan, bicara kotor dan kurang beradab.

Mobil pick up  yang kami gunakan pun hampir tidak bisa menaiki Pusuk Sembalun, hampir mundur dan jatuh ke jurang

Sungguh, kami dan kita semua sedang Mengundang bencana..

Menjadi pelajaran berharga bahwa kita semua adalah pendatang yang harus menghormati tuan rumah dimanapun kita melakukan perjalanan, gunung, laut dan tempat lainnya.
Rinjani, 2017

***